Hubungan NU dengan Pesantren

 PEMBAHASAN

A.  Kiprah Para Ulama dan Kyai Pesantren dalam Mendirikan, Mengembangkan dan Mempertahankan Aswaja an- Nahdliyah.
Pemikiran kyai Hasyim, memliki pengaruh cukup kuat dalam diskursus Ahlus Sunnah wal Jamaah di lingkaran ulama pesantren, kredibilitas intelektual Kyai Hasyim tidak diragukan lagi. Kredibilitas inilah yang membawanya berada dalam puncak otoritas di kalangan ulama pesantren. Dalam konteks mempertahankan pola bermadzhab dan taqlid, misalnya, tidak ada satu pun yang berseberangan dengan kontruksi pemikiran Kyai Hasyim. Achmad Shiddiq salah satunya, menegaskan keharusan bermadzhab di kalangan umat islam. Baginya bermadzhab merupakan sistem yang baik dan seharusnya digunakan oleh kaum muslimin untuk mendapatkan ajaran islam yang murni. Selain itu, bermadzhab bukan berarti menutup diri dari berijtihad, namun lebih didasarkan pada kehati-hatian agar tidak terjatuh dalam lubang kesesatan.Pilihan yang begitu ketat pada madzhab empat yang di rumuskan Kyai Hasyim juga mendapatkan dukungan sepenuhnya dari generasi sesudahnya.[1]
Demikian pula keharusan mempertahankan taqlid, Kyai Bishri Musthafa memililki pandangan hampir sama dengan Kyai Hasyim. Menurutnya bagi ulama yang memiliki persyaratan dan kemampuan melakukan ijtihad secara mandiri, maka ia harus berijtihad. Sebaliknya bagi yang tidak memenuhi syarat, wajib bertaqlid kepada salah satu dari madzhab empat. Dalam konteks ini, hanya Kyai Wahab Hasbullah yang memiliki pandangan agak berbeda, bahwa taqlid memiliki makna sama dengan ittiba’, yaitu yang berlaku di lingkungan ulama. Dalam artikelnya yang berjudul ā€œDebat Taqliedā€ dalam al-Lisan, Kyai Wahab Hasbullah menegaskan bahwa pendapat seorang mujtahid pada umumnya senantiasa berdasarkan kepada dalil-dalil. Karena itu, seseorang yang menggunakan pendapat ulama mujtahid sebagai rujukan, sama halnya juga berdasar pada dalil-dalil.[2]
Lahirnya NU di Surabaya pada tanggal 31 Januari 1926, tidak bisa dipisahkan karena peran ulama pesantren di Indonesia khususnya Jawa dan Madura. NU lahir atas prakarsa dan dukungan para ulama pesantren yang membentuk komunitas sendiri karena berbagai situasi dan kondisi pada saat itu.
Ketika awal abad 20 di Indonesia terdapat kelompok tradisional dan kelompok modernis. Pada masa ini telah berdiri organisasi Sarekat Islam yang merupakan organisasi perjuangan politik umat islam. Kelompok modernis dan tradisionalis sepakat mendukung aktifitas Sarekat Islam, yakni organisasi politik pribumi yang secara formal berdiri pada 1912. Meluasnya Partai Sarekat Islam Indonesia yang dipimpin oleh H. Oemar Said Tjokrominoto (1882-1934) secara cepat sampai akhir dasawarsa 1910-an disebabkan oleh dukungan para kyai pemimpin pesantren. Namun demikian, sejak permulaan dasawarsa 1920-an perdebatan antara ulama islam tradisional dan para pemimpin islam modern mengenai masalah khalafiyah (yang pertikaian), mengenai mazhab, ijtihad, tauhid, dan fikih semakin ramai sehingga timbul perselisihan paham antara kedua kelompok. Beberapa tokoh umat islam seperti H. Oemar Said, Tjokroaminato, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Mas Mansyur, KH. Agus Salim, KH Abdul Khalim Majalengka, A. Sangaji, dan R. Wondoamiseno kemudia menyelenggarakan kongres Islam I tahun 1921 untuk mengupayakan agar perselisihan paham dibidang keagamaan dapat diredakan.
Meskipun pada tahun 1924 dapat dibentuk komite Khilafat, namun menjelang kongres Al-Islam VI, Februari 1926, di Bandung, KH. Abdul Wahab Hasbullah menarik diri dari kepanitian komite Khilafat. Setelah mundur, KH. Abdul Wahab Hasbullah membentuk komite Hijaz. Dalam rapat di Surabaya 31 Januari 1926 diambil dua keputusan penting:
1.      Mengirim utusan ke kongres khilafat di Mekkah dengan tugas memperjuangkan hukum ibadah menurut Mazhab empat
2.      Membentuk organisasi atau jam'iyah yang bernama Nahdlatul Ulama dengan Rais Al-Akbar (ketua umum) KH. Hasyim Asy'ari dari Tebu Ireng Jombang.
Keberangkatan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah Indonesia yang tergabung dalam komite hijaz ke Arab Saudi bukan lagi terkait dengan urusan khilafah, melainkan untuk menyampaikan keberatannya atas sikap pemerintah Arab Saudi yang dengan alasan arti syirik, anti Khufarat, dan anti bid'ah, telah membuat kebijakan yang menyinggung kebijakan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah dan kehidupan spiritualnya. Kerajaan Arab Saudi melarang kegiatan-kegiatan yang dapat "dianggap" syirik seperti ziarah kubur, membaca kitab berzanji, bermadzhab, dan lain sebagainya. Padahal tradisi ini adalah tradisi kaum pesantren yang telah menyatu dengan kehidupan spiritualnya. Misi para ulama dapat dikatakan berhasil karena kerajaan Arab Saudi dapat memahami apa yang dilakukan dan diyakini kaum pesantren Indonesia. Jadi, secara historis NU lahir dari "rahim" pesantren yang pada awalnya berangkat dari kesadaran tentang pentingnya sebuah wadah untuk menyatukan aspirasi, misi dan visi yang diusung para ulama.[3]
Berkembangnya pengaruh gerakan Islam modern memang mengandung respon para pemimpin NU. Pada tahun 1926 beberapa pesantren mengembangkan sistem madrasah untuk membuka kesempatan untuk murid wanita. Mereka juga mulai mengajarkan pelajaran umum seperti bahasa Indonesia, bahasa Belanda, berhitung, ilmu bumi dan sejarah.
Meskipun perubahan yang dilakukan masih sangat terbatas, pesantren dapat memetik hasil yang sangat positif dari sistem madrasah, yaitu berhasilnya para kyai mengkonsolidasikan kedudukan pesantren dalam menghadapi perkembangan sekolah Belanda. Selain itu jumlah santrinya pun melonjak berlipat ganda.[4]
Dengan demikian, jelaslah bahwa jam'iyah NU adalah jam'iyah islamiyah yang didirikan oleh para ulama pesantren-pemegang teguh salah satu mazhab empat berhaluan Ahlus Sunnah Waljamaah yang bertujuan tidak saja memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran islam Ahlus Sunnah Waljamaah 'ala madzhabil arba'ah tetapi juga memperhatikan masalah-masalah sosial, ekonomi, perdagangan dan sebagainya dalam rangka pengabdian kepada bangsa, negara dan umat manusia.
Selain berperannya para ulama dalam mempertahankan faham Ahlus Sunnah wal Jamaah, para ulama pun mempunyai kedudukan yang istimewa dalam NU karena mereka diposisikan sebagai pewaris dan ujung tombak penyebaran agama islam yang dibawa Rasulullah SAW.
B.  Pola Hubungan Antara Pondok Pesantren dengan NU
Peantren adalah lembaga pendidikan yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman, yang dipimpin oleh kyai sebagai pengasuh pemilik pesantren dan dibantu oleh ustadz atau guru yang mengajarkan ilmu-ilmu keislaman kepada santri, melalui metode dan teknik yang khas.Pesantren juga termasuk lembaga pendidikan dimana santrinya tinggal di asrama pondok secara full day.
Nahdlatul Ulama dan pondok pesantren itu bagaikan dua sisi mata uang yang sulit dipisahkan. Apabila menyebut NU kita mesti ingat pondok pesantren begitupun sebaliknya. Karena Nahdlatul Ulama didirikan oleh para ulama pondok pesantren. Mereka memiliki kesamaan wawasan, pandangan, sikap, perilaku dan tata cara pemahaman serata pengalaman ajaran islam menurut faham Ahlusunnah wal jama'ah. Ibarat sebuah keranjang, kelahiran Nahdlatul Ulama pondok pesantren. [5]
Hubungan antara Nahdlatul Ulama dengan pondok pesantren dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut:
1.    Kesamaan tujuan yaitu melestarikan ajaran islam Ahlusunnah wal jama'ah yang merupakan materi pokok pengajaran agama di Pondok pesantren
2.    Nahdlatul Ulama didirikan sebagai wadah bagi usaha mempersatukan langkah para ulama pondok pesantren di dalam pengembangan tugas pengabdiannya dalam masyarakat, baik bidang agama, pendidikan, ekonomi, maupun persoalan-persoalan kemasyarakatan yang lainnya
3.    Pola kepemimpinan dalam Nahdlatul Ulama sama dengan pola kepemimpinan memiliki kedudukan sangat menentukan, maka didalam Nahdlatul Ulama dikenal pengurus Syuriyah yang terdiri dari para ulama selaku pimpinan tertinggi
4.    Pengaruh yang dimiliki oleh para kyai pengasuh pondok pesantren dilingkungan masyarakatnya juga menjadi kekuatan pendukung bagi Nahdlatul Ulama. Basis massa (anggota) yang dikenal dengan sebutan "kaum santri" menjadi salah satu pilar penyangga kekuatan Nahdlatul Ulama, bahkan menjadi salah satu ciri khas yang membedakannya dengan organisasi-organisasi islam lainnya.[6]
Jadi, hubungan pondok pesantren dan Nahdlatul Ulama sangat erat sekali. Keduanya mempunyai hubungan timbal balik yang sangat berpengaruh bagi kemajuan masing-masing lembaga tersebut, baik dalam segi peningkatan organisasi yang ada didalamnya maupun meningkatkan semangat dalam mensyiarkan agama Islam dikalangan masyarakat. Sebab itu, berdirinya Nahdlatul Ulama tidak lain karena peran serta para kyai dan ulama pondok pesantren itu sendiri.
Mbah Muchit menegaskan bahwa hubungan antara NU dan Pesantren ibarat hubungan anatara ikan dan air, keduanya tak bisa dipisahkan. "Ensklopedia hidup NU" ini dengan sangat lancar menjelaskan akar sejarah mengapa NU memiliki kedekatan dengan pesantren. Menurutnya, sebelum NU lahir, para ulama pesantren telah membentuk organisasi atai jamiyah untuk mewadahi diri dan kiprahnya. Ada sekelompok ulama yang membentuk "Nahdlatul Tujjar" suatu organisasi yang bertujuan untuk memperbaiki ekonomi umat, "Nahdlatul Wathon" sebuah organisasi pendidikan, "Tasawuf afkar", forum diskusi untuk membahas berbagai masalah yang dihadapi umat, "Nahdlatul Syubban", organisasi kepemudaan dan lain-lain. [7]
Hal ini pun dibuktikan dengan salah satu perangkat organisasi NU yang bertugas melaksanakan kebijakan di bidang pengembangan pondok pesantren yaitu Rabithah Ma'ahid al- Islamiyah (RMI).  Oleh sebab itu pondok pesantren dengan NU tidak bisa dipisahkan.
Para ulama pada umumnya telah memiliki jama'ah dengan ikatan hubungan yang akrab dan terbentuk dalam pola hubungan antara santri dan kyai, terutama pada masyarakat dilingkungan pondok pesantren. Pola hubungan santri kyai ini mampu mewarnai bahkan membentuk subkultural tradisionalis islam tersendiri di Indonesia. Oleh karena itu, kehadiran NU dipandang sebagai upaya mewadahi, melambangkan dan menegmbangkan langkah kegiatan serta gerakan para ulama yang telah dilakukan dan berlangsung sebelumnya. Para ulama pesantren yang tergabung dalam NU secara umum dapat dikatakan memiliki kesamaan wawasan, pandangan, dan tradisi keagamaan yang berlandaskan faham Ahlus Sunnah walJamaah.[8] Begitu pula dengan lulusan pondok pesantren dapat dibuktikan kualitasnya, terutama yang menjadi tokoh dan pejuang NU. Mereka tidak hanya memiliki kompetensi bidang ilmu agama, namun juga memiliki bidang ilmu lain sehingga keberadaanya dibutuhkan untuk berkontribusi kepada negara dan bangsa.
C.  Peran dan Fungsi Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) Sebagai Wadah Pengembangan NU dan Kaderisasi Ulama
RMI singkatan dari Rabithah Ma’ahid Islamiyah. Salah satu lembaga milik NU yang bertugas mengoordinir pondok pesantren di lingkungan NU. RMI sudah ada sejak tahun 1954, yang saat itu singkatan RMI adalah Rabithah Ma’ahidil Islamiyah sejak tahun 1996. Singkatan berubah menjadi Rabithah Ma'ahid Islamiyah sejak tahun 1996. Hanya persoalan tata bahasa semata.[9]
Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI) adalah lemabaga Nahdlatul Ulama dengan berbasis utama pondok pesantren yang mencapai kurang lebih 23.000 buah di seluruh Indonesia. Lembaga ini lahir sejak Mei 1954 dengan nama ittihad al-Ma'ahid al Islamiyah yang dibidani oleh KH. Achmad Syaichu dan KH. Idham Kholid. Anggaran Rumah Tangga Nahdlatul Ulama 2010 bab V pasal 18 huruf c menyebutkan bahwa Rabithah Ma'ahid Islamiyah adalah lembaga yang bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama di bidang pengembangan pondok pesantren dan pendidikan agama.Disinilah RMI berfungsi sebagai katalisator, dinamisator, dan fasilitator bagi pondok pesantren menuju tradisi mandiri dalam orientasi menggali solusi-solusi kreatif untuk Negeri. Rabithah Ma’ahid Islamiyah berpijak pada upaya pengembangan kapasitas lembaga, penyiapan kader-kader bangsa yang bermutu, dan pengembangan masyarakat.
Di dalam pondok pesantren pendidikan yang didapatkan bukan sebatas teori, namun juga praktik beragama. Pesantren merupakan tempat penanaman nilai-nilai moral yang mampu membentuk jatidiri manusia yang berbudi luhur. Pondok pesantren merupakan wadah santri menimba ilmu pengetahuan (keagamaan) setiap hari selama bertahun-tahun dibawah kepemimpinan kyai. Prinsip-prinsip dasar yang ditanamkan dalam dunia pesantren adalah tathawwur (berkembang secara gradual), tawasuth (moderat), tawazun (harmonis-seimbang), I’tidal (lurus) dan tasamuh (toleran) dengan berpihak pada nilai-nilai permusyawaratan dan keadilan dalam orientasi kemaslahatan umum.Setiap pesantren memiliki karakteristik tersendiri walau unsur-unsurnya sama. Keragaman karakteristik ini merupakan kekuatan dan sekaligus keunikan. Unsur-unsur dasar yang membentuk lembaga pondok pesantren adalah kyai, masjid, asrama, santri dan kitab kuning. Kyai menempati posisi sentral dalam lingkungan pesantren, karena ia bisa sebagai pemilik, pengelola, dan pengajar, serta imam pada acara-acara keagamaan yang diselenggarakan. Unsur lainnya (masjid, asrama, santri, dan kitab kuning) bersifat subside, dibawah kendali kyai. Dengan unsure-unsur yang dimilikinya, pondok pesantren telah menjadi pusat pembelajaran (training centre) dan pusat kebudayaan (cultural centre).
Nilai-nilai yang menjadi budaya Rabithah Ma’ahid Islamiyah adalah kreatif, harmonis, amanah, responsive, intelek, sederhana, mandiri, dan aktif yang dapat disingkat KHARISMA 2015.
VISI : Terwujudnya peran pesantren sebagai wadah tafaquh fiddin dan rekayasa sosial dalam upaya membangun kemashlahatan masyarakat yang maju, mandiri dan berakhlak mulia berdasarkan Ahlussunnah wal Jamaah an nahdliyyah.

MISI :
  • Meningkatkan kualitas peran pesantren sebagai pusat kaderisasi ulama yang intelektual
  • Menjadikan pesantren sebagai pusat pembentukan karakter bangsa yang berbudi luhur
Ā·         menjadikan pesantren sebagai pusat pengembangan ekonomi kerakyatan
Ā·         meningkatkan kualitas tata kelola pesantren sebagai lembaga yang maju dan dinamis[10]







Para ketua PP RMI dari masa ke masa:
1.      KH Achmad Siddiq
2.      KH Mahrus Ali
3.      KH A. Syaichu
4.      KH Masykur
5.      KH Najib Wahab
6.      Drs KH A. Wahid Zaini, SH
7.      KH Aziz Masyhuri
8.      KH Muhamad Ali Zain. (2004-2009)[11]
9.      Drs. KH. Amin Haidar. (2010-2015)
10.  KH. Abdul Ghoffar Rozim (2015-2020)


















DAFTAR PUSTAKA

Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari Tentang Ahl al-Sunnah wa al- Jama'ah, (Surabaya: Khalista, 2010), hlm.236
Ayu Sutarto, Menjadi NU Menjadi Indonesia, (Surabaya: Khalista, 2008), hlm. 69-70.
Edi Rohani, dkk,Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyah, (Yogyakarta : Lkis, 2017), hlm.195-198.
Soeleiman Fadeli, Antologi NU Buku II, (Surabaya: Khalista, 2010), hlm. 101.
http://www.jombang.nu.or.id, Nahdlatul Ulama dan Pesantren, dikses pada tanggal 15 Januari 2014 Pukul: 10:35 pm.



[1]Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy'ari Tentang Ahl al-Sunnah wa al- Jama'ah, (Surabaya: Khalista, 2010), hlm.236
[2]Ibid, hlm.241.
[3]Ayu Sutarto, Menjadi NU Menjadi Indonesia, (Surabaya: Khalista, 2008), hlm. 69-70.
[4]Edi Rohani, dkk,Pengantar Studi Aswaja An-Nahdliyah, (Yogyakarta : Lkis, 2017), hlm.195-198.
[5]Ibid, hlm.202.
[6]Ibid, hlm. 203.
[7]Ayu Sutarto, Menjadi NU Menjadi Indonesia..., hlm.67-68.
[8]http://www.jombang.nu.or.id, Nahdlatul Ulama dan Pesantren, dikses pada tanggal 15 Januari 2014 Pukul: 10:35 pm.
[9]Soeleiman Fadeli, Antologi NU Buku II, (Surabaya: Khalista, 2010), hlm. 101.
[11]Soeleiman Fadeli, Antologi NU Buku II..., hlm.102.

Comments

Popular Posts